Rabu, 15 Mei 2013

Proyek Beranak-pinak Pada KTP Elektronik

 photo contoh_ektp_zps408caac8.jpgBelakangan ini, kisruh soal kartu tanda penduduk elektronik atau E-KTP marak jadi perbincangan publik. Pangkal soalnya adalah surat edaran Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang menyatakan, kartu tersebut tidak bisa difotokopi maupun distaples.

Surat edaran Nomor: No. 471.13/1826/SJ itu tertanggal 11 April 2013. Ironis memang, karena surat tersebut tidak keluar bersamaan dengan awal proyek berjalan, yaitu 2011. Informasi ini seolah-olah disembunyikan oleh Kementerian Dalam Negeri sebagai kuasa pemegang proyek senilai Rp 5,8 triliun tersebut.

Ada yang menarik dari surat edaran tersebut. Chip yang terkandung dalam KTP elektronik hanya boleh dibaca oleh alat yang namanya card reader atau sebut saja pemindai kartu. Karena itu, lembaga pelayan publik khususnya kantor pemerintahan, wajib memiliki alat ini.

Surat edaran itu bernada keras. Ada sanksi menanti jika ada lembaga yang tidak menyediakan alat tersebut. Alasannya? Merugikan masyarakat

Di sinilah timbul pertanyaan. Siapa pemegang proyek pengadaan pemindai kartu itu? Perlu dicatat, proyek ini wajib berjalan paling telat awal Januari tahun depan, sebelum pemerintahan sekarang mengakhiri masa tugasnya.

Bayangkan, jumlah kelurahan/desa di Indonesia sudah lebih dari 70.000 dan semua harus punya alat pembaca kartu yang diperintahkan Mendagri. Harga sebuah pembaca kartu buatan BPPT, ada di kisaran Rp 5-6 juta. Jadi, untuk proyek keluarahan saja — di luar kecamatan, kabupaten, provinsi, serta instansi pemerintah pelayanan publik lainnya — nilainya sudah hampir setengah triliun rupiah.

Namun dalam perkiraan harga Kementerian Dalam Negeri, seperti dilansir Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), harga total mencapai Rp 1,5 miliar. Yang menjadi fasilitator pengadaan barang adalah Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Ini menunjukkan, kantor yang dipimpin mantan Gubernur Sumatera Barat itu sudah punya rekanan. Siapa?

Apalagi, seperti diakui Menteri Gamawan, sudah ada 31 ribu alat pemindai kartu yang disebar. Berarti nilainya, sesuai angka perkiraan tadi, mencapai Rp 46,5 miliar. Tentu masih berlipat-lipat yang bakal diadakan.

Dari sini saja kembali muncul pertanyaan penting yang perlu dijawab Gamawan Fauzi. Pertama, mengapa surat edaran soal KTP elektronik tak bisa difotokopi baru keluar menjelang akhir masa tugas? Kedua, ternyata tiba-tiba ada proyek baru sebagai turunan dari proyek KTP elektronik, yaitu alat pembacanya.

Pada kasus ini, menurut saya ada moral hazard alias ketidakjujuran secara moral.

Setidaknya ada dua indikasi. Pertama, informasi soal KTP elektronik tidak boleh sering difotokopi — wajib dengan pemindai — diinformasikan kemudian, tidak sejak awal proyek berjalan. Kedua, kewajiban pengadaan pemindai kartu dengan standard khusus dari pemerintah – entah bagaimana standarnya. Ketiga, pemerintah terlibat dalam skema operator proyek, yaitu fasilitator pengadaan barang alat pemindai.

Pada intinya, moral hazard yang muncul kemudian ini dibangun dari informasi yang tidak transparan. Tapi mungkin saja, disampaikan kepada pihak tertentu atau asimetris alias tidak merata ke seluruh pihak. Sehingga, bersamaan dengan kebutuhan kartu pemindai muncul, barangnya sudah ada dan Kemendagri sudah bisa langsung mengirimnya dalam jumlah puluhan ribu unit.

Dalam konteks hukum, moral hazard berpotensi menimbulkan korupsi. Begitu pula dengan penyampaian informasi secara asimetris. Ketidakjujuran dan penyembunyian informasi di sini bisa menguntungkan segelintir pihak yang “kebetulan” sudah tahu. Apalagi disertai tambahan biaya dari anggaran negara.

Karena itu, agar negara yang mengelola uang rakyat ini tidak dirugikan, tak berlebihan kalau segera dilakukan audit. Badan Pemeriksa Keuangan layak segera turun mumpung proyek sedang berjalan.

Selain itu, kritik Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta tentang proyek KTP elektronik yang memboroskan uang rakyat itu layak didengar. Ada mekanisme lebih irit dalam melaksanakan proyek tersebut. Bahkan tak perlu proyek tambahan bernama pemindai kartu, yang pengadaannya disertai ancaman seperti tertera pada surat edaran Menteri Gamawan.

Mari awasi perilaku pejabat publik menjelang hajatan akbar Pemilu 2014.

Tidak ada komentar: