Belakangan ini, kisruh soal kartu tanda penduduk elektronik atau E-KTP
marak jadi perbincangan publik. Pangkal soalnya adalah surat edaran
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang menyatakan, kartu tersebut tidak
bisa difotokopi maupun distaples.
Surat
edaran Nomor: No. 471.13/1826/SJ itu tertanggal 11 April 2013. Ironis
memang, karena surat tersebut tidak keluar bersamaan dengan awal proyek
berjalan, yaitu 2011. Informasi ini seolah-olah disembunyikan oleh
Kementerian Dalam Negeri sebagai kuasa pemegang proyek senilai Rp 5,8
triliun tersebut.
Ada yang menarik dari surat edaran tersebut.
Chip yang terkandung dalam KTP elektronik hanya boleh dibaca oleh alat
yang namanya card reader atau sebut saja pemindai kartu. Karena itu,
lembaga pelayan publik khususnya kantor pemerintahan, wajib memiliki
alat ini.
Surat edaran itu bernada keras. Ada sanksi menanti jika
ada lembaga yang tidak menyediakan alat tersebut. Alasannya? Merugikan
masyarakat
Di sinilah timbul pertanyaan. Siapa pemegang proyek
pengadaan pemindai kartu itu? Perlu dicatat, proyek ini wajib berjalan
paling telat awal Januari tahun depan, sebelum pemerintahan sekarang
mengakhiri masa tugasnya.
Bayangkan, jumlah kelurahan/desa di
Indonesia sudah lebih dari 70.000 dan semua harus punya alat pembaca
kartu yang diperintahkan Mendagri. Harga sebuah pembaca kartu buatan
BPPT, ada di kisaran Rp 5-6 juta. Jadi, untuk proyek keluarahan saja —
di luar kecamatan, kabupaten, provinsi, serta instansi pemerintah
pelayanan publik lainnya — nilainya sudah hampir setengah triliun
rupiah.
Namun dalam perkiraan harga Kementerian Dalam Negeri,
seperti dilansir Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA),
harga total mencapai Rp 1,5 miliar. Yang menjadi fasilitator pengadaan
barang adalah Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Ini
menunjukkan, kantor yang dipimpin mantan Gubernur Sumatera Barat itu
sudah punya rekanan. Siapa?
Apalagi, seperti diakui Menteri
Gamawan, sudah ada 31 ribu alat pemindai kartu yang disebar. Berarti
nilainya, sesuai angka perkiraan tadi, mencapai Rp 46,5 miliar. Tentu
masih berlipat-lipat yang bakal diadakan.
Dari sini saja kembali
muncul pertanyaan penting yang perlu dijawab Gamawan Fauzi. Pertama,
mengapa surat edaran soal KTP elektronik tak bisa difotokopi baru keluar
menjelang akhir masa tugas? Kedua, ternyata tiba-tiba ada proyek baru
sebagai turunan dari proyek KTP elektronik, yaitu alat pembacanya.
Pada kasus ini, menurut saya ada moral hazard alias ketidakjujuran secara moral.
Setidaknya
ada dua indikasi. Pertama, informasi soal KTP elektronik tidak boleh
sering difotokopi — wajib dengan pemindai — diinformasikan kemudian,
tidak sejak awal proyek berjalan. Kedua, kewajiban pengadaan pemindai
kartu dengan standard khusus dari pemerintah – entah bagaimana
standarnya. Ketiga, pemerintah terlibat dalam skema operator proyek,
yaitu fasilitator pengadaan barang alat pemindai.
Pada intinya,
moral hazard yang muncul kemudian ini dibangun dari informasi yang tidak
transparan. Tapi mungkin saja, disampaikan kepada pihak tertentu atau
asimetris alias tidak merata ke seluruh pihak. Sehingga, bersamaan
dengan kebutuhan kartu pemindai muncul, barangnya sudah ada dan
Kemendagri sudah bisa langsung mengirimnya dalam jumlah puluhan ribu
unit.
Dalam konteks hukum, moral hazard berpotensi menimbulkan
korupsi. Begitu pula dengan penyampaian informasi secara asimetris.
Ketidakjujuran dan penyembunyian informasi di sini bisa menguntungkan
segelintir pihak yang “kebetulan” sudah tahu. Apalagi disertai tambahan
biaya dari anggaran negara.
Karena itu, agar negara yang
mengelola uang rakyat ini tidak dirugikan, tak berlebihan kalau segera
dilakukan audit. Badan Pemeriksa Keuangan layak segera turun mumpung
proyek sedang berjalan.
Selain itu, kritik Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta tentang proyek KTP
elektronik yang memboroskan uang rakyat itu layak didengar. Ada
mekanisme lebih irit dalam melaksanakan proyek tersebut. Bahkan tak
perlu proyek tambahan bernama pemindai kartu, yang pengadaannya disertai
ancaman seperti tertera pada surat edaran Menteri Gamawan.
Mari awasi perilaku pejabat publik menjelang hajatan akbar Pemilu 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar